Selasa, 02 Juli 2013

Aceh dan Budaya Minum Kopi

Jika Anda berkunjung ke kota Banda Aceh, minuman apa yang akan disuguhkan tuan rumah kepada Anda? Kopi jawabannya. Bisa dipastikan minimal sehari sekali sebagian besar warga Aceh akan menyeruput minuman berwarna hitam ini. Minum kopi telah menjadi kebiasaan dan budaya turun temurun di Banda Aceh. Saking gilanya dengan kopi, kawan
saya di Banda Aceh bisa dipastikan minum paling tidak lima gelas kopi setiap hari. Dia bangun tidur minum kopi;  berangkat ke kantor minum kopi; di kantor minum kopi; pulang dari kantor juga minum kopi. Malam harinya ketika kongkow dengan kawan-kawannya minum kopi lagi. Berhubung saya sama sekali tidak doyan ngopi, selama di Aceh belum sekalipun  saya minum kopi hahaha.
Orang Aceh tidak melulu minum kopi pahit. Kadang kala dicampur susu maupun minum kopi manis. Satu hal yang membedakan kedai kopi di Aceh dengan daerah lain adalah banyak sekali penganan dan makanan berat yang bisa dinikmati sambil minum kopi. Maka meskipun namanya kedai kopi, jangan heran jika pedagang disitu juga menjual penganan kecil yang beraneka ragam jenisnya serta menyediakan makanan berat, terutama mie Aceh. Akan tetapi, menurut pendapat saya masih enak mie Aceh di Medan daripada di Banda Aceh sendiri. Mi Aceh di Medan bumbunya tidak seberat yang di Banda Aceh.
Kegemaran minum kopi di Aceh memiliki riwayat sejarah yang panjang. Menurut wikipedia, penduduk Aceh memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsa Arab terutama Turki, Persia dan Yaman serta dengan bangsa India. Hal ini terbukti dari penampilan wajah orang Aceh serta makanan khas Aceh yang banyak mengandung kari. Banyak orang percaya kebiasaan minum kopi dibawa pendatang dari Turki ke Aceh pada zaman kejayaan kerajaan Aceh. Sampai sekarang, kopi terutama jenis arabika banyak ditanam petani Aceh di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Di Aceh kebiasaan minum kopi menjadi potensi bisnis yang sangat menggiurkan. Banyak sekali kedai kopi dibangun di Aceh, terutama Banda Aceh. Jika Belitung berjuluk “pulau seribu kedai kopi” maka Banda Aceh bergelar “kota seribu kedai kopi”. Pada tahun 2011, di Banda Aceh diadakan Festival Kopi tingkat internasional. Event ini menarik perhatian produsen minuman kopi dan penikmat kopi dari berbagai negara.
Setelah tsunami menimpa Aceh tahun 2004, banyak relawan dari negara asing bekerja untuk pemulihan dan tanggap darurat di Aceh. Mereka sering berinteraksi dengan warga lokal di kedai kopi. Dewasa ini banyak kedai kopi di Banda Aceh dilengkapi dengan fasilitas hotspot. Selain dapat berbincang-bincang dengan sesama pengunjung, kita dapat berselancar internet di kedai kopi. Kedai kopi telah menjadi tempat berinteraksi antarwarga yang sangat nyaman karena bersih. Bahkan beberapa kedai kopi memiliki pendingin ruangan. Tidak heran berbagai kalangan suka berlama-lama di kedai kopi. Kedai kopi yang awalnya hanya menarik minat kalangan bapak-bapak tengah baya telah bergeser menjadi ajang nongkrong anak muda Banda Aceh baik laki-laki maupun perempuan. Uniknya, kedai kopi akan tutup sejenak saat azan sholat berkumandang dan buka lagi selepas waktu sholat.
Segala topik perbincangan dapat diobrolkan disini. Mulai dari urusan remeh temeh rumah tangga, sosial, gosip artis sampai kondisi Aceh terkini. Namun, saya pernah diingatkan kawan saya jangan memperbincangkan masalah GAM di kedai kopi. Topik tentang organisasi ini adalah perkara supersensitif. Meski Aceh telah damai, berperkara dengan GAM sama saja dengan menantang nyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar